Dari Sebuah Kalung, Oleh T. Sandi Situmorang Pelan Nina menutup tasnya yang menggembung akibat kepenuhan. Sementara Rosa hanya menatapnya dari sisi tempat tidur. "Sudah bulat keputusanmu?" Nina mengangguk. "Lantas bagaimana dengan kuliahmu?' "Pastinya di sana juga ada universitas." Rosa menarik napas. "Kenapa harus lari?' Nina menatapnya. "Aku sakit hati, Ros. Tertipu mentah-mentah!" "Akuilah kalau kau juga mencintainya." "Dulu, tapi sekarang aku justru sangat membencinya." "Apa bedanya dulu dan sekarang?" Nina membuang napas. "Kamu tahu, aku paling sebal dengan cowok penipu!" "Itu dia lakukan demi kebaikanmu juga." Nina mencibir. "Aku justru berpikir, semua itu dilakukannya hanya untuk mendapatkanku." "Mana mungkin." "Itu bisa saja." "Apa buktinya?" "Apa masih kurang jelas kalau ternyata dia mengarang cerita bohong. Seolah-olah kisah cintanya sangat tragis dan sama persis dengan kisah cintaku." "Memang, sih. Tapi…" Nina menggeleng keras. Apapun yang akan dikatakan Rosa, tak akan mengubah rasa marah, benci, dan muak yang terlanjur hadir di hatinya kepada Ilham. Sekarang Nina tahu, pasti Kika yang berada di belakang semua ini. Gadis itu berkomplot dengan sepupunya itu untuk menipunya. Buktinya Kika yang pertama kali mengenalkan mereka. "Nin, kupikir terlalu berlebihan kalau kamu harus sampai pindah ke lain propinsi hanya karena masalah ini." "Terserah apa anggapan kamu." "Alangkah baiknya kalau sekarang kamu pergi berlibur saja. Lalu setelah pikiran kamu jernih, kamu pulang untuk menyelesaikan semuanya." "Ingat, Ros, aku nggak ada minta saran dari kamu," ketus suara Nina. Selesai sudah ia mengepak barangnya yang hanya sedikit. Ia berdiri. Sekali lagi disapunya seluruh ruangan kamar dengan mata. Tak ada yang tersisa. Kecuali tempat tidur, tilam, lemari, dan meja belajar yang memang fasilitas dari induk semang. Di ambang pintu kamar langkah Nina terhenti. Kika berdiri kikuk di depannya. Sempat ia lihat permohonan maaf pada mata gadis itu, sebelum akhirnya Nina membuang tatap. "Minggir, Ka! Sebelum aku nekat menendangmu jauh-jauh dari situ," beku suara Nina tanpa menoleh. Kika tak bergeming. "Kamu harus percaya, Nin! Aku berniat baik padamu. Aku hanya meminta Ilham menghiburmu, untuk membangkitkan kamu dari rasa kesedihan. Kalau pada akhirnya kalian pacaran, itu di luar perkiraanku." "Omong kosong!" "Sumpah demi Tuhan, Nin!" Nina mendengus. Ia tabrak Kika yang mematung di ambang pintu, hingga gadis itu mundur dua langkah. Sebelum meninggalkan kota ini untuk selamanya, Nina merasa perlu datang ke sini. Untuk terakhir kalinya.Meletakkan bunga yang dia bawa ke atas nisan Arun yang bisu, mulut Nina komat-kamit memanjatkan sebait doa. Matanya berkaca. Makam Arun tak terawat. Rumput liar meranggas di atasnya. Selain Nina, memang tak ada yang menziarahi lagi. Sebab keluarganya pindah ke Manado genap dua bulan Arun meninggal. Setitik air mengalir di pipi yang pada akhirnya jatuh ke nisan Arun. Setahun sudah Nina tak lagi menziarahi. Itu karena mulut manis Ilham mampu membuat ia lupa diri. Bahkan pada hari ulang tahun dan tanggal kematian Arun beberapa bulan lalu, Nina hanya mengiriminya doa dari rumah. Maafkan aku, Run! Tak seharusnya aku melupakanmu secepat ini. Sedangkan kematianmu karena keegoisanku. Urat-urat di leher Nina menegang. Di seberang sana Arun berusaha menyabarkannya dengan kata-kata halus yang merasuk. Tapi Nina terlanjur marah! Entahlah, barangkali Nina terlalu kekanak-kanakan. Ia masih terlalu mengagungkan makna malam Minggu. "Hujan masih deras, Nin!" "Katanya cinta, tapi sama hujan saja kamu menyerah.' "Kamu kan tahu kalau aku paling tak bisa kena hujan. Kalau aku paksain ke situ, terus aku jatuh sakit, siapa juga yang repot, hayooo.." Arun berusaha melucu. Tapi muka Nina malah tambah keriting. "Sebodo…" "Kalau enggak ngobrol di sini saja, deh! Biarin Mama marah karena pulsa membengkak." Nina cemberut. Pacaran di telepon mana seru. Lagian mana bisa Arun melihat giwang barunya. Yang kata kawan-kawannya Nina tampak dua kali lebih manis memakainya. "Nin.." Nina membisu. Arun menghela napas. "Oke, deh, aku berangkat! Setengah jam lagi aku sampai di situ. Tapi kamu harus nyiapin kopi panas satu ceret, biar aku nggak masuk angin." Satu jam kemudian datang berita terburuk yang pernah di dengar Nina di sepanjang hidupnya. Motor Arun tabrakan di jalan Sudirman. Kalau dua hari kemudian Arun menghembuskan napasnya, Nina merasa dia penyebab semua itu. Walau keluarga Arun sendiri sudah mengatakan; itu adalah takdir hidup Arun. Tapi mana mungkin. Andai Nina tak memaksa Arun harus setor muka ke rumah kostnya, kecelakaan itu tak akan terjadi. Benar maut, jodoh dan rezeki di tangan Tuhan. Tapi tak bisa dipungkiri campur tangan manusia juga terlibat di dalamnya. Nina terpukul. Ditinggal mati pacar saja merupakan suatu pukulan berat buatnya. Ditambah lagi rasa bersalah karena merasa penyebab kematian itu, membuat Nina semakin terpuruk. Akhirnya datang Ilham. Dengan mulut manisnya bertutur tentang kisah sedihnya. Ternyata mereka senasib. Sama-sama ditinggal mati sang pacar, dengan cara yang sama pula. Kesalahan Nina, terlalu cepat hanyut dengan buaian cinta Ilham. Hingga begitu mudah dia melupakan Arun. Begitu rapi Ilham menyimpan masa lalunya, mematrikan di kepala Nina, kalau kisah cinta mereka di masa lalu amat memilukan dan nyaris serupa. Tapi ibarat menyimpan bangkai, serapi-rapinya dibungkus dan disimpan, satu saat akan tercium juga baunya. Satu senja. Nina dan Ilham makan di Mc. D, ketemu dengan teman lama Ilham. Dari mulut Sahril, teman lama Ilham itu, Nina tau semuanya. Ternyata selama ini, ia hanya dikadali. "Sudah berapa lama jadiannya?" "Hampir setahun," sahut Ilham. Sahril menatap takjub. "Hebat, udah lelah kamu berkelana?" Mata Nina memicing. Ilham terlihat salah tingkah. "Maksudmu?" tanya Nina. "Dulunya Ilham kan playboy. Satu cewek cuma bertahan dua bulan. Katanya sih belum ketemu dermaga yang cocok. Berarti kamu yang dicari-carinya selama ini," ujar Sahril terbahak. Mungkin bermaksud mengingat masa lalu, cuma becanda. "Keke?" desis Nina tanpa sadar. "Siapa tuh Keke?" "Mantan pacar Ilham yang…" "Gila kamu, Ham!" Sahril menepuk pundak Ilham. "Berarti ada gadis yang luput dari pantauanku, dong! Kuakui deh, kamu memang ahlinya. Korban ke berapa, tuh?" Putih wajah Ilham. Nina menatap, napasnya tersengal. Pandangannya mulai terhalang air mata. Sebelum ia berlari, Ilham memanggil dan mengejar. Nina kecewa. Cintanya tumbuh karena merasa senasib. Selama ini Ilham mengaku, Nina cinta kedua baginya. Ternyata semua bohong. Yang benar, Ilham seorang Casanova. Tak ada kisah cinta yang memilukan. Yang ada hanyalah petualangan cinta. Senja kian jatuh. Matahari hampir terbenam. Di langit, ada warna merah saga. Membuat langit indah dipandang. Nina masih mematung di sisi kubur Arun. "Nin…" Nina menggeram. Tanpa menoleh ia tahu siapa pemilik suara itu. Ada langkah mendekat. Nina menggamit tali tasnya, bermaksud meninggalkan tempat itu. Ilham menangkap tangannya. "Jangan pergi, Nin! Jangan tinggalkan aku dengan cara seperti ini." Nina meronta, tanpa mau memandang wajah Ilham. "Maafkan karena aku telah membohongimu." "Lepaskan!" "Tak akan kulepas, sebelum kau memaafkan aku." "Apa masih ada arti sebuah kata maaf?" hujam Nina. "Bualanmu membuatku melupakan Arun begitu saja. Membuatku tak merasa berdosa. Padahal…," pekikan Nina terputus, berganti tangis. "Padahal, aku yang membunuh Arun." "Itu tak benar, Nin!" Ilham bermaksud merengkuh tubuh Nina dalam pelukannya, tapi Nina lebih cepat menepis. "Jangan sentuh aku!" "Benar aku playboy, seperti kata Sahril. Punya pacar di mana-mana. Tapi itu sebelum aku kenal kamu." "Simpan saja rayuan gombalmu itu untuk gadis lain." Nina mengayun langkah, tapi Ilham menghadang dari depan. Nina mengangkat wajah. Matanya tajam menatap Ilham. Ketika menyibak rambutnya ke belakang, mata Ilham tertumbuk pada sebuah kalung di leher Nina. Kalung itu mengingatkan... "Lihat ini," Ilham membuka liontin berbentuk hati yang menggantung di kalung itu. "Aku sudah isi photo kita berdua di dalamnya. Kamu simpan baik-baik, ya." Nina tersenyum manis. Ilham membantu memakaikan di lehernya. "Makasih, Il. kalung ini akan tetap kupakai. Bila satu hari nanti, kita bertengkar dan terucap kata putus, yakinlah itu hanya emosi sesaat jika kau lihat aku masih mengenakan kalung ini." "Benar?" "Suer," Nina mengangkat dua jari tangan membentuk huruf v. "Minggir! Aku jijik melihatmu." Tanpa suara Ilham menepi, memberi Nina jalan. Ditatapnya punggung Nina dari belakang, tanpa ada maksud untuk mengejar. Biarlah! Sekarang Nina lagi emosi, jadi tak akan gadis itu memberinya kata maaf. Lebih baik membiarkan hatinya tenang dulu. seiring waktu berjalan, Nina pasti akan memaafkannya, karena Ilham tahu, cinta Nina masih miliknya. (AnekaYess: Edisi ke-8 Tahun 2003, 11 - 24 April 2003)